PENANAMAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KEGIATAN PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA ASPEK MENULIS
OLEH: WAHYUNINGSIH RAHAYU, S.Pd, M.Pd.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui
pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan
karakter bangsa. Kebijakan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya
adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada
dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau
ideologi bangsa Indonesia,
agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan
nasional.
Pendidikan karakter memanglah mutlak dibutuhkan untuk memberikan pondasi budi pekerti yang kuat terhadap anak didik. Akan tetapi kenyataan sekarang ini sebagai bangsa Indonesia yang sejak jaman nenek moyang kita terkenal dengan lemah lembutnya, sopan santunnya, kini bangsa Indonesia telah banyak mendapatkan berbagai pengaruh dari luar. Perilaku yang penuh dengan tata krama yang tinggi telah mulai pudar, karakter sebagai orang timur semakin samar. Remaja, bahkan Anak-anak kecil, yang pada mulanya menghormati dan patuh pada orang tua kini tidak sedikit yang berani menantang dan berbuat kekerasan. Kejahatan dan pelanggaran terhadap berbagai aturan semakin banyak terjadi di kalangan pelajar. Seorang remaja berani menusuk temannya hanya masalah sepele (Suara Merdeka, 27 Agustus 2010). Selain itu pelajar juga melakukan tindak kriminal lainnya, yakni dua Pelajar SLTP di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, mencuri bebek (Suara Merdeka, 4 Agustus 2010).
Siswa yang seharusnya menghormati dan taat pada guru banyak yang mulai meremehkan dan tidak lagi menghormati guru. Bukan saja siswa sekolah lanjutan yang mulai tidak sopan kepada guru, namun siswa sekolah dasarpun mulai biasa berperilaku yang kurang sopan pada gurunya, temannya, orang tua di sekitarnya bahkan pada orang tuanya sendiri. Anak-anak lebih banyak disuguhi permainan game yang serba canggih, modern, dan individualitas dari pada bermain bersama-sama temannya yang akan menimbulkan adanya rasa toleransi. Hal ini seperti kritik yang disampaikan oleh teater Emka FIB Undip yang mengibaratkan anak sekarang bagaikan di aquarium, yang terbatas dalam ruang geraknya dan kebersamaanya dengan anak-anak lainnya. Sehingga rasa kerukunan, rasa saling memiliki semakin tipis dimiliki oleh masing-masing anak, rasa egoistis yang semakin besar.
Pendidikan karakter memanglah mutlak dibutuhkan untuk memberikan pondasi budi pekerti yang kuat terhadap anak didik. Akan tetapi kenyataan sekarang ini sebagai bangsa Indonesia yang sejak jaman nenek moyang kita terkenal dengan lemah lembutnya, sopan santunnya, kini bangsa Indonesia telah banyak mendapatkan berbagai pengaruh dari luar. Perilaku yang penuh dengan tata krama yang tinggi telah mulai pudar, karakter sebagai orang timur semakin samar. Remaja, bahkan Anak-anak kecil, yang pada mulanya menghormati dan patuh pada orang tua kini tidak sedikit yang berani menantang dan berbuat kekerasan. Kejahatan dan pelanggaran terhadap berbagai aturan semakin banyak terjadi di kalangan pelajar. Seorang remaja berani menusuk temannya hanya masalah sepele (Suara Merdeka, 27 Agustus 2010). Selain itu pelajar juga melakukan tindak kriminal lainnya, yakni dua Pelajar SLTP di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, mencuri bebek (Suara Merdeka, 4 Agustus 2010).
Siswa yang seharusnya menghormati dan taat pada guru banyak yang mulai meremehkan dan tidak lagi menghormati guru. Bukan saja siswa sekolah lanjutan yang mulai tidak sopan kepada guru, namun siswa sekolah dasarpun mulai biasa berperilaku yang kurang sopan pada gurunya, temannya, orang tua di sekitarnya bahkan pada orang tuanya sendiri. Anak-anak lebih banyak disuguhi permainan game yang serba canggih, modern, dan individualitas dari pada bermain bersama-sama temannya yang akan menimbulkan adanya rasa toleransi. Hal ini seperti kritik yang disampaikan oleh teater Emka FIB Undip yang mengibaratkan anak sekarang bagaikan di aquarium, yang terbatas dalam ruang geraknya dan kebersamaanya dengan anak-anak lainnya. Sehingga rasa kerukunan, rasa saling memiliki semakin tipis dimiliki oleh masing-masing anak, rasa egoistis yang semakin besar.
Upaya
menanamkan pendidikan karakter pada anak didik dapat dilakukan melalui
pembelajaran Bahasa Indonesia. Salah satunya adalah pembelajaran membaca yang
mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan karakater. Siswa sekarang ini kurang
suka menulis. Dalam membaca sering tidak mengetahui apa isinya. Dalam membaca
siswa kurang terarah sejak kelas rendah. Menurut pengamatan dan informasi dari
berbagai pihak ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan menulis siswa. Selain faktir
internal dari dalam diri siswa juga faktor eksternal dari luar diri siswa.
Penyebab
lainnya adalah cara mengajar guru yang kurang bervariasi dalam memanfaatkan
pendekatan, media, maupun metodenya. Aspek kebahasan yang diajarkan di sekolah
dasar meliputi kemampuan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Membaca
merupakan aktivitas yang melibatkan indera penglihatan manusia. Membaca pada
hakekatnya adalah suatu proses yang rumit yang melibatkan beberapa aspek dalam
tubuh manusia. Kenyataan di lapangan sekarang ini, siswa kurag tertarik membaca
buku. Siswa cenderung menyukai aspek menyimak. Mereka malas melakukan kegiatan
membaca buku, sehingga buku-buku yang ada di perpustakaan juga nyaris tak
tersentuh. Rendahnya minat baca siswa tentu saja akan mempengaruhi rendahnya
kemampuan menulis siswa juga.
Rendahnya minat dan kemampuan siswa dalam keterampilan
menulis tentu saja menjadi problema dalam pembelajaran Bahasa. Tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999)
adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan
yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan
mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi
kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Sementara itu, dalam kurikulum 2006 untuk SD/MI, disebutkan bahwa tujuan pemelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia secara umum meliputi (1) siswa menghargai dan membanggakan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara, (2)
siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi,serta
menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan,
dan keadaan, (3) siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional,dan kematangan sosial,
(4) siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan
menulis), (5) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (6) siswa menghargai dan membanggakan
sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Untuk
mencapai tujuan di atas, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip
belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya, serta
menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan
pembelajarannya. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai
berikut. Pebelajar akan belajar bahasa dengan baik bila (1) diperlakukan
sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, (2) diberi kesempatan
berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam
aktivitas, (3) bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada
bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa,
(4) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan
budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, (5) jika menyadari akan peran dan
hakikat bahasa dan budaya, (6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut
kemajuan mereka, dan (7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran
mereka sendiri (Aminuddin, 1994).
Dalam pembelajaran bahasa sekarang ini, kaitannya
dengan program pendidikan karakter dari pemerintah, perlu menerapkan pendidikan
karakter di dalamnya. Pendidikan karakter
bagi siswa diperlukan sekali untuk menyeimbangkan antara perkembangan Iptek dan
Imtaq. Pendidikan karakter merupakan proses yang ditujukan untuk mengembangkan
nilai, sikap, dan perilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia atau karakter
luhur yang menunjukkan cirikas bangsa Indoesia. Pelaksanaan pendidikan karakter
bagi siswa sesuai dengan program Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan.
Upaya
penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran menulis ini
merupakan salah satu upaya menanamkan pada diri anak bagaimana cara memnyusun tulisan yang
berkarakter dan dapat diteladani oleh diri sendiri maupun orang lain yang
membacanya. Menulis merupakan aktivitas yang melibatkan indera penglihatan
manusia, pikiran, dan peraba (tangan). Kenyataan di lapangan sekarang ini,
siswa kurag tertarik dalam pembelajaran
menulis. Siswa cenderung menyukai aspek menyimak. Mereka malas melakukan
kegiatan menulis, karena kesulitan menuangkan ide atau gagasan ke dalam bahasa
tulis. Hanya sebagian kecil siswa yang aktif menulis. Bahasa tulis mereka
sering bercampur aduk dengan bahasa tidak resmi ketika menulis.
Menulis
dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan atau berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Tulisan merupakan
sebuah simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati
pemakaiannya. Sebagai keterampilan berbahasa, menulis tidak dapat terlepas dari
komponen-kompomen bahasa lainnya, yaitu menyimak, berbicara, dan membaca.
Antarkomponen tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Keterampilan
menulis merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa,
khususnya di SD. Melalui keterampilan menulis diharapkan siswa dapat mengkomunikasikan
gagasan, pendapat, pengalaman, pesan, dan perasaan secara sistematis dan logis.
Guru dalam menyampaikan materi pelajaran belum menggunakan pendekatan dan
metode yang tepat. Analisis yang diperoleh guru mengapa siswa enggan menulis
antara lain: 1) Siswa belum memahami unsur yang harus ada dalam menulis; 2) Siswa
belum menguasai format penulisan; 3) Siswa kurang menguasai ragam bahasa tulis
terutama penggunaan bahasa baku; 4) Siswa kurang menyukai pelajaran menulis; dan 5) Siswa tidak mempunyai keberanian bertanya.
Rendahnya minat siswa menulis karangn tentu saja menjadi problema dalam
pembelajaran Bahasa. Tujuan
pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi
dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya
tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan
berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan
penggunaan. Dalam pembelajaran menulis sekarang ini, kaitannya dengan
program pendidikan karakter dari pemerintah, perlu menerapkan pendidikan
karakter di dalamnya. Pendidikan karakter
bagi siswa diperlukan sekali untuk menyeimbangkan antara perkembangan Iptek dan
Imtaq. Pendidikan karakter merupakan proses yang ditujukan untuk mengembangkan
nilai, sikap, dan perilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia atau karakter
luhur yang menunjukkan cirikas bangsa Indoesia. Pelaksanaan pendidikan karakter
bagi siswa sesuai dengan program Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis
Sekolah (MPMBS) maupun pendidikan yang berbasis kompetensi.
Kementerian Pendidikan Nasional memiliki
program prioritas sesuai dengan pengarahan Presiden R.I. dimana pada tahun 2011
telah dilaksanakan penyempurnaan metodologi pembelajaran dan kurikulum. Pada
tahun 2012 diharapkan telah dilaksanakan oleh 25% sekolah dan tahun 2014 oleh
semua sekolah. Oleh karena itu, diperlukan strategi dalam melaksanakannya agar
tujuan program prioritas tercapai secara berkualitas tanpa harus menimbulkan
keresahan pada setiap satuan pendidikan karena sering terjadinya perubahan-perubahan
mendasar (Balitbang Kemendiknas, 2010). Dalam hal ini pembelajaran bahasa aspek
menulis tentu saja dapat dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai pendidikan
karakter.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui
pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan
karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya
adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada
dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau
ideologi bangsa Indonesia,
agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan
nasional.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikana dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia aspek menulis dengan menerapkan nilai-nilai pendidikan
karakter. Salah satu contohnya adalah kegiatan pembelajaran menulis dengan
pendekatn kinestik untuk aspek menulis karangan di kelas lima SD. Pembelajaran
dengan pendekatan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru pada siswa
tentang menulis yang menyenangkan serta dapat menanamkan nilai-nilai pendidikan
karakter. Menulis merupakan ketrampilan berbahasa yang digunakan sebagai
komunikasi tidak langsung dan membutuhkan proses belajar dan berlatih.
Ketrampilan menulis merupakan ketrampilan berbahasa yang produktif dan reseptif
serta memerlukan kreativitas dalam memilih dan menyusun kosakata, sturktur
kalimat, maupun pengembangan paragraph.
Keterampilan menulis merupakan ketrampilan berbahasa yang
harus dan penting untuk dimiliki siswa karena banyak keuntungan yang dapat
dipetik dari kegiatan menulis yaitu : (1) menggali pengetahuan dan pengalaman
yang kadang tersimpan di alam bawah sadar serta mengembangkan daya nalar;(2)
memperluas wawasan, baik mengenai teori maupun fakta yang berhubungan;(3) menjelaskan
masalah yang semula masih samar bagi diri sendiri;(4) dapat meninjau serta
menilai gagasan sendiri secara lebih objektif;(5) lebih mudah memecahkan
masalah yaitu dengan menganalisisnya secara tersurat dalam konteks yang lebih
konkret; (6) mendorong kita belajar secara aktif menjadi penemu sekaligus
pemecah masalah, menulis terencana membiasakan kita berpikir dan berbahasa
secara tertib.
Setelah mengetahui keuntungan-keuntungan menulis tersebut maka pembelajaran menulis menjadi sangat penting untuk anak-anak sekolah dasar karena mereka sangat membutuhkan ketrampilan ini untuk bekal kemudian menjadi mahir menulis.
Setelah mengetahui keuntungan-keuntungan menulis tersebut maka pembelajaran menulis menjadi sangat penting untuk anak-anak sekolah dasar karena mereka sangat membutuhkan ketrampilan ini untuk bekal kemudian menjadi mahir menulis.
Pelaksanaan pembelajaran
menulis karangan narasi dengan model sinektik ini bertujuan untuk meningkatkan
kreativitas siswa dalam kemampuan menulis sekaligus menanamkan karakter pada
diri siswa.Karakter yang diharapkan melalui mata pelajaran bahasa Indonesia
untuk sekolah dasar adalah sebagai berikut :
Tabel
3. Karakter yang dikembangkan melalui mata pelajaran bahasa Indonesia
BAHASA INDONESIA
|
·
Religius
·
Jujur
·
Toleransi
·
Disiplin
·
Kerja Keras
·
Kreatif
·
Mandiri
·
Demokratis
·
Rasa Ingin Tahu
·
Semangat Kebangsaan
·
Cinta Tanah Air
·
Menghargai Prestasi
·
Bersahabat/Komunikatif
· Terbuka
*
|
Berdasarkan paparan Joyce, Weil, dan
Calhoun ( 2011) menjelaskan bahwa model sinektik ini ada dua strategi yaitu
strategi pembelajaran untuk membuat sesuatu yang baru (creating something new) dan strategi untuk membuat sesuatu yang
asing menjadi familiar (making the
strange familiar). Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan strategi
yang pertama karena strategi ini lebih sesuai digunakan untuk pembelajaran
menulis karangan narasi bagi siswa kelas V sekolah dasar. Adapun
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
Tabel
4. Langkah-langkah Model Sinektik Pertama, Membuat Sesuatu yang Baru
Tahap
Pertama :
Mendeskripsikan situasi saat ini
|
Tahap Kedua :
Analogi
Langsung
|
Guru meminta siswa
mendeskripsikan situasi atau topik seperti yang mereka lihat saat ini.
|
Siswa mengusulkan
analogianalogi langsung, memilikinya, dan mengeksplorasi (mendeskripsikannya)
lebih jauh.
|
Tahap
Ketiga :
Analogi Personal
|
Tahap Keempat :
Konflik
Padat
|
Siswa “ menjadi”
analogi yang telah mereka pilih dalam tahap kedua tadi.
|
Siswa mengambil
deskripsi-deskripsi dari tahap kedua dan ketiga, mengusulkan beberapa analogi
konflik dan memilih salah satunya.
|
Tahap
Kelima:
Analogi langsung
|
Tahap Keenam
Memeriksa
kembali Tugas Awal
|
Siswa membuat dan
memilih analogi langsung yang lain, yang didasarkan pada analogi konflik
padat
|
Guru meminta siswa
kembali pada tugas atau masalah awal dan menggunakan analogi terakhir dan
atau seluruh pengalaman sinektiknya.
|
Dalam sistem sosial model sinektik
ini memungkinkan terbentuknya karakter toleransi, kreatif, demokratis,
bersahabat/komunikatif, terbuka, dan rasa ingin tahu dapat diciptakan asalkan
guru dapat memprakarsai rangkaian dan membimbing penggunaan mekanisme-mekanisme
operasiaonal.Siswa punya kebebasan dalam diskusi terbuka, mereka melibatkan
diri dalam pemecahan masalah metaforis.Norma-norma kerja sama,”permainan
khayalan”, dan kualitas emosional penting dalam pemecahan masalah secara
kreatif.
Guru berperan mendorong siswa untuk
memanjakan hal yang tidak relevan, fantasi, dan lainnya untuk memunculkan
saluran-saluran pemikiran. Guru harus menerima seluruh respon siswa untuk
meyakinkan bahwa siswa merasa tidak ada penghakiman eksternal terhadap ekspresi
kreatifnya termasuk analogi-analogi yang tidak masuk akal sehingga siswa dapat
mengembangkan perspektif-perspektif yang segar tentang masal yang mereka
hadapi.
Pelaksanaan model ini tetap
membutuhkan sistem pendukung seperti ruangan belajar yang dirancang dalam
bentuk kelompok-kelompok yang di dalamnya kreativitas muncul dan dihargai.
REFERENSI
Bruce, Joyce. Marsha, Weil. Emily, Calhoun. 2009. Models of Teaching. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kemendiknas. 2010. Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendinas.
Koesoema. Doni. A. 2007. Pendidikan
Karakter. Jakarta: Kompas Gramedia.
Subyantoro. 2009. Pelangi
Pembelajaran Bahasa. Semarang: Unnes Press
Suara Merdeka. Semarang: Mascomgrafi
Trianto.
2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Konstrukltivistik. Jakarta. Prestasi Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar