KODE,
ALIH KODE, DAN CAMPUR KODE
Kelompok
V (Wahyuningsih Rahayu, S.Pd,M.Pd
A. KODE
Suatu sistem struktur
yang penerapan unsur-unsurnya mempunyai
ciri-ciri khas sesuai dengn latar belakang penutur, relasi penutur dalam berkomunikasi antara individu
disebut dengan kode. Kode dapat
didefinisikan menurut suatu sistem tutur
yang penerapan unsur bahasanya mempunyai crri khas sesuai dengan latar belakang,
penutur, relasi penutur, dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode
biasanya berbentuk varian bicara yang selalu nyata dipakai berkomunikasi
anggota suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, 1978:30). Ada juga ahli yang mendefinisikan kode merupakan
salah satu varian di dalam hierarkhi kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi.
Dengan demikian dalam sebuah bahasa dapat terkandung beberapa buah kode yang
merupakan varian dari bahasa itu (Suwito, 1983: 67). Wardhaught (1988:86) mengemukakan bahwa kode
adalah semacam sistem yang dipakai oleh dua orang atau lebih untuk
berkomunikasi, kode itu bersifat yang netral.
Dikatakan netral karena kode itu tidak memiliki kecenderungan
interpretasi yang menimbulkan emosi.
Kode berbentuk varian
bahasa. Varian bahasa menurut deskripsi dari Poedjosoedarmo (1978:31-32) meliputi dialek, undha usuk, dan ragam. Dialek dapat
dibedakan lagi menjadi dialek geografi, sosial, usia, jenis kelamin, aliran,
dan mungkin suku. Undha-usuk atau tingkatan tutur dibedakan menjadi dua, yaitu
tutur hormat dan tidak hormat. Sedangkan ragam dapat dibedakan dalam hal ragam
suasana (resmi, santai, dan literer), dan ragam komunikasi (komunikasi ringkar
dan komunikasi lengkap). Kode selalu memiliki makna. Dalam bahasa Jawa tingkat undha
usuk karma memiliki makna sopan, sedangkan tingkat ngoko memiliki makna kurang
sopan. Ragam santai memancarkan makna santai sedangkan ragam formal juga
mengandung makna resmi.
Dalam sebuah kode
terdapat beberapa unsur bahasa seperti kalimat, kata, morfem, dan juga fonem
yang pemakaiannya dikendalai oleh semacam pembatasan umum (concurrence
restriction) yang berupa factor-faktor luar bahasa atau factor non linguistik.
Factor-faktor itu disebut juga dengan komponen tutur. Dalam masyarakat eka
bahasa (monolingual) kode hanyalah berupa varian dari satu bahasa itu saja,
tetapi bagi masyarakat multilingual atau
bilingual kode dpat lebih kompleks daripada masyarakat monolingual. Tingkat
tutur dapat dikatakan merupakan sistem kode dalam suatu masyarakat tutur. Kode dalam jenis ini faktor penentunya adalah
relasi antara si penutur dengan si mitra tutur. Pada umumnya di dalam sebuah
bahasa terdapat cara-cara tertentu untuk menetukan perbedaan sikap hubungan
antara penutur dn mitra tutur dalam bertutur. Contohnya: Dalam bahasa Indonesia
kata-kata istana, putera, bersabda, menganugerahi, dll, untuk menunjuk rasa
hormat. Dalam bahasa Jawa menggunakan kata “panjenenganipun” yang berarti dia
sebagai ungkapan rasa hormat pada seseorang. Untuk meminta sesuatu orang Jawa
sering mengatakan dengan ucapan “Wah, katese sampun ketingal kuning-kuning,
Pak!” dapat diartikan bahwa sebenarnya seseorang itu menginginkan papaya
(kates) yang sudah masak. Orang yang memiliki pohon pepata tanggap ing sasmita
(paham dengan apa yang tersirat), dia akan menjawab, “ Lha mangga menawi
ngersake kula pendetke!”. (Kalau mau saya petikkan).
Kode dalam tingkat tutur misalnya:
Pembeli: “Niko, pinten?”
Ini berapa
Penjual:”Niko Sekawan setengah”
Itu empat ribu lima ratus.
Pembeli: “Menawi niko?”
Kalau yang ini?
Penjual : “Menawi niko pitungnewo!”
Kalau yang itu tujuh ribu.
Kata “niko” merupakan
bentuk ringkas dari puniko. “Niko
pinten” merupakan bentuk ringkas dari
“meniko pinten reginipun ini” atau “ini berapa harganya?”. Kata Menawi niko bentuk ringkas dari “Menawi
meniko regenipun pinten?” atau “Kalau yang ini berapa harganya?”
ALIH
KODE
Kode dapat beralih dari
varian yang satu kepada varian yang lainnya. Peralihan kode dapat kmengarap
dari yang formal ke kode yang informal, dari yang paling hormat ke paling tidak
hormat, atau dari kode yang lengkap menjadi kode yang tidak lengkap.
Alih kode merupakan
peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam percakapan dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau dari ragam resmi ke
ragam santai. Menurut Appel (2976: 79) mendefinisikan alih kode sebagai gejala
peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi, sedangkan Hymes
(1875:103) menyatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antar bahasa,
tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam
suatu bahasa “code switching has become a common term for alternate us of two or more
langunge, variasties of language, or even speech styles”.
Suwito dalam Rahadi
(2010: 24) menyatakan bahwa alih kode merupakan istilah umum untuk menyebut
pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi
dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam. Dijelaskan pula
bahwa alih kode intern (internal code switching) yang terjadi antara bahasa
daerah atau antara beberapa bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa
daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek.
Sedangkan kode ekstern (external code
swirching) adalah apabila yang terjadi adalah bahasa asli dan bahasa asing.
Poerdjosoedramo dalam
Rahardi (2010:24) menyatakan bahwa seseorang sering mengganti kode bahasanya
pada saat bercakap-cakap. Pergantian itu dapat disadari atau bahkan mungkin
tidak pula disadari oleh penutur. Gejala alih kode semacam ini timbul karena
faktor komponen bahasa yang bermacam-macam. Alih kode dalam habasannya terdapat
istilah alih kode sementara (temporary code switching) yakni pergantian kode
bahasa yang dipakai oleh seorang penutur yang berlangsung sebentar atau
sementara. Sedangkan alih yang sifatnya permanen (permanent code switshing)
merupakan peralihan bahasa yang berlangsung secara permanen, kendati sebenarnya
hal ini tidak mudah dilakukan.
Penyebab
terjadinya alih kode dalam
sosiolingistik menurut Fishman (1976:15) yaitu:”siapa berbicara, dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Sedangan menurut kepustakaan
linguistic penyebab terjadinya alih kode adalah: 1) pembiaca atau penutur, 2)
pendengar atau lawan tutur, 3) perubahan
situasi dengan hadirnya orang ke tiga, 4) perubahan dari formal ke informal atau
sebaliknya, 5) perubahan topik pembicaraan.
Seorang pembicara atau
penutur sering kali melakukan alih kode untuk keuntungan atau manfaat dari tindakannya itu. Misalnya Pak
Aldo setelah beberapa saat berbicara dengan Pak Bimo mengenai gunung Merapi dengan bahasa Jawa, karena mereka sama-sama berasal dari suku
Jawa. Tujuan dari pembicaraan itu agar saling mengerti dan lebih mudah memahami
isi pembicaraan. Contohnya:
Pak Aldo :”Wah, Merapi mbedhos malih
nggih, Pak!”
(Wah, Merapi meletus lagi ya,
pak!)
Pak
Bimo:”Inggih Pak. Malah mledose langkung ageng. Kathah kerugian bondho donya Pak!”
(Inggih, Pak. Meletusnya
lebih dasyat, banyak korban harta benda)
Penyebab alih kode dari
segi lawan bicara atau lawan tutur, misalnya karena si penutur ingin
mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan
tutur itu. Dalam hal ini biasanya biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur
kurang atau agak kurang karena memang mungkin bukan bahasanya pertama.
Apabila lawan tutur itu berlatar belakang sama
dengan penutur maka alih kode yang terjadi hanya berupa alih kode yang terjadi hanya berupa peralihan varian
(baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Apabila si lawan
tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si penutur , maka yang terjadi adalah alih bahasa. Kehadiran
orang ketiga atau orang lain yang tidak
berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan
oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Status
orang ketiga dalam alih kode juga menentukan bahasa atau varian yang harus
digunakan.
Contoh: Pembicaraan di
Kampus
Topik : Tugas Kuliah
Sebab Alih Kode :
Kehadiran Ninda dari Sumatera
Dinda : “Piye Nes, tugase Prof. Dandan
wis rampung?”
Fanes : “Wis, aku nulis nganti jam
sepuluh bengi!
Ketika mereka
bicara datanglah Rotua.
Dinda :”Kamu sudah mengerjakan tugas Prof
Dandan?
Perubahan situasi
bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Misalnya dari situasi formal ke
ragam santai.
Contoh: Percakapan guru
dikantor
Bu Ani :”Apakah Ibu sudah membuat RPP untuk
minggu ini?”
Bu Sinta :”Oh, sudah. Ini bukunya!”
Bu Ani :”Panjenengan
panci sregep, Bu. Lha Bapak punapa sampun dhangan!”
CAMPUR KODE
Antara alih kode dan
campur kode hamper sukar memang sukar dibedakan. Maka beberapa orang menganggap
sama antara keduanya. Kesamaan antara alih kode dan campur kode adalah
digunakannya dua bahasa atau lebih,
atau varian dari sebuah bahsa dalam satu masyarakat tutur.
Thelander (1976: 103)
menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Alih kode menurutnya adalah
suatu peristiwa tutur terjadi peralihan
dari satu klausa suatu bahsa ke klausa bahasa lain, sedangkan apabila di dalam
suatu peristiwa tutur terjadi klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan
terdiri dari klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsinya
sendiri-sendiri maka terjadi campur kode.
Fosald (1984) menawarkan
criteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode. Apabila
seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah
melakukan campur kode. Tetapi apabila klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan satu klausa
berikutnya disusun menurut gramatika bahasa lain, maka yang terjadi adalah alih
kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika bahasa
lain maka yang terjadi adalah alih kode. Untuk Menjelaskan keterangannya
itu Fasold memberikan contoh campuran bahasa Spanyol dan bahasa Inggris yang
diangkat dari Labov (1971: 457)
-
Y cuando estoy con gonte me borrocha
porque me seinto
(dan
ketika saya dengan orang saya mabuk sebaba saya merasa)
-
Mas happy, mas free, you know, pero is yo estoy con mucha.
Lebih bahagia, lebih bebas, tahu
kan, tetapi saya dengan banyak.
-
Gente yo no estoy, you know, high, more
or less
(orang saya tidak, tahu kan,
tinggi, kira-kira)
-
I couldn’t get along with anybody
(saya tidak bisa bergaul dengan
siapa pun)
Berdasarkan kriteria kegramatikan, maka dari
awal sampai kata pero merupakan serpihan bahasa Spanyol. Kata-kata happy, free,
dan you know dipinjam dari bahasa Inggris. Lalu, pernyataan high dan more or
less adalah bahasa Inggris. Klausa berikutnya sepenuhnya dalam bahasa Inggris,
baik dalam kosakata maupun gramatika. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bagian awal
teks di atas sampai dengan ungkapan more or less yang berupa if-clause adalah
bahasa Spanyol yang bercampur bahasa
Inggris. Alih kode kedalam bahasa Inggris baru dimulai dengan kata I, meskipun
di depannya ada empat buah bahasa Inggris.
Contoh
ke dua yang di kemukakan Fasold di angkat dari Velma (1976:158) yang melibatkan
hubungan bahasa Hindi dan bahasa Inggris. Teksnya berupa:
Vinod : mai to kuhungaa ki yah one of the
(saya akan mengatakan bahwa ini adalah salah)
Best novels of the year is
(Satu novel terbaik tahun ini)
Mira :
That’s right. It is decidedly one of
(benar.
Diputuskan novel itu memang
The
best novel of the year
(Novel terbaik tahun ini
Perkataan Vinod terdiri
dari dua buah klausa. Yang satu berarti saya akan mengatakan dan yang
kedua berarti “ini adalah salah satu
novel terbaik tahun ini. Meskipun kata-kata dalam klausa hamper semuanya bahasa
Inggris, tetapi gramatikal klausa itu adalah klausa bahasa Hindi, sebab klausa tersebut yang
dimulai dengan pronominanya dan memiliki kata mai dalam posisi akhir klausa.
Alih kode terjadi pada ucapan Mira. Ucapan Vinod dan Mira tersebut terjadi
campur kode.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar