Kamis, 20 Juni 2013

KODE DAN ALIH KODE



KODE, ALIH KODE, DAN CAMPUR KODE
Kelompok V (Wahyuningsih Rahayu, S.Pd,M.Pd

A.    KODE
Suatu sistem struktur yang penerapan unsur-unsurnya  mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengn latar belakang penutur, relasi  penutur dalam berkomunikasi antara individu disebut dengan kode.  Kode dapat didefinisikan menurut suatu  sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai crri khas sesuai dengan latar belakang, penutur, relasi penutur, dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bicara yang selalu nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, 1978:30).  Ada juga ahli yang mendefinisikan kode merupakan salah satu varian di dalam hierarkhi kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi. Dengan demikian dalam sebuah bahasa dapat terkandung beberapa buah kode yang merupakan varian dari bahasa itu (Suwito, 1983: 67).  Wardhaught (1988:86) mengemukakan bahwa kode adalah semacam sistem yang dipakai oleh dua orang atau lebih untuk berkomunikasi, kode itu bersifat yang netral.  Dikatakan netral karena kode itu tidak memiliki kecenderungan interpretasi yang menimbulkan emosi. 
Kode berbentuk varian bahasa. Varian bahasa menurut deskripsi dari Poedjosoedarmo (1978:31-32) meliputi  dialek, undha usuk, dan ragam. Dialek dapat dibedakan lagi menjadi dialek geografi, sosial, usia, jenis kelamin, aliran, dan mungkin suku. Undha-usuk atau tingkatan tutur dibedakan menjadi dua, yaitu tutur hormat dan tidak hormat. Sedangkan ragam dapat dibedakan dalam hal ragam suasana (resmi, santai, dan literer), dan ragam komunikasi (komunikasi ringkar dan komunikasi lengkap). Kode selalu memiliki makna. Dalam bahasa Jawa tingkat undha usuk karma memiliki makna sopan, sedangkan tingkat ngoko memiliki makna kurang sopan. Ragam santai memancarkan makna santai sedangkan ragam formal juga mengandung makna resmi.
Dalam sebuah kode terdapat beberapa unsur bahasa seperti kalimat, kata, morfem, dan juga fonem yang pemakaiannya dikendalai oleh semacam pembatasan umum (concurrence restriction) yang berupa factor-faktor luar bahasa atau factor non linguistik. Factor-faktor itu disebut juga dengan komponen tutur. Dalam masyarakat eka bahasa (monolingual) kode hanyalah berupa varian dari satu bahasa itu saja, tetapi bagi masyarakat  multilingual atau bilingual kode dpat lebih kompleks daripada masyarakat monolingual. Tingkat tutur dapat dikatakan merupakan sistem kode dalam suatu masyarakat tutur.  Kode dalam jenis ini faktor penentunya adalah relasi antara si penutur dengan si mitra tutur. Pada umumnya di dalam sebuah bahasa terdapat cara-cara tertentu untuk menetukan perbedaan sikap hubungan antara penutur dn mitra tutur dalam bertutur. Contohnya: Dalam bahasa Indonesia kata-kata istana, putera, bersabda, menganugerahi, dll, untuk menunjuk rasa hormat. Dalam bahasa Jawa menggunakan kata “panjenenganipun” yang berarti dia sebagai ungkapan rasa hormat pada seseorang. Untuk meminta sesuatu orang Jawa sering mengatakan dengan ucapan “Wah, katese sampun ketingal kuning-kuning, Pak!” dapat diartikan bahwa sebenarnya seseorang itu menginginkan papaya (kates) yang sudah masak. Orang yang memiliki pohon pepata tanggap ing sasmita (paham dengan apa yang tersirat), dia akan menjawab, “ Lha mangga menawi ngersake kula pendetke!”. (Kalau mau saya petikkan).


Kode dalam tingkat tutur misalnya:
Pembeli: “Niko, pinten?”
               Ini berapa
Penjual:”Niko Sekawan setengah”
               Itu empat ribu lima ratus.
Pembeli: “Menawi niko?”
               Kalau yang ini?
Penjual : “Menawi niko pitungnewo!”
               Kalau yang itu tujuh ribu.

Kata “niko” merupakan bentuk ringkas dari puniko.  “Niko pinten” merupakan  bentuk ringkas dari “meniko pinten reginipun ini” atau “ini berapa harganya?”.  Kata Menawi niko bentuk ringkas dari “Menawi meniko regenipun pinten?” atau “Kalau yang ini berapa harganya?”

ALIH KODE
Kode dapat beralih dari varian yang satu kepada varian yang lainnya. Peralihan kode dapat kmengarap dari yang formal ke kode yang informal, dari yang paling hormat ke paling tidak hormat, atau dari kode yang lengkap menjadi kode yang tidak lengkap.
Alih kode merupakan peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam  percakapan dari ragam santai  menjadi ragam resmi, atau dari ragam resmi ke ragam santai. Menurut Appel (2976: 79) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi, sedangkan Hymes (1875:103) menyatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa “code  switching has become a common  term for alternate us of two or more langunge, variasties of language, or even speech styles”.
Suwito dalam Rahadi (2010: 24) menyatakan bahwa alih kode merupakan istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam. Dijelaskan pula bahwa alih kode intern (internal code switching) yang terjadi antara bahasa daerah atau antara beberapa bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek. Sedangkan kode ekstern (external  code swirching) adalah apabila yang terjadi adalah bahasa asli dan bahasa asing.
Poerdjosoedramo dalam Rahardi (2010:24) menyatakan bahwa seseorang sering mengganti kode bahasanya pada saat bercakap-cakap. Pergantian itu dapat disadari atau bahkan mungkin tidak pula disadari oleh penutur. Gejala alih kode semacam ini timbul karena faktor komponen bahasa yang bermacam-macam. Alih kode dalam habasannya terdapat istilah alih kode sementara (temporary code switching) yakni pergantian kode bahasa yang dipakai oleh seorang penutur yang berlangsung sebentar atau sementara. Sedangkan alih yang sifatnya permanen (permanent code switshing) merupakan peralihan bahasa yang berlangsung secara permanen, kendati sebenarnya hal ini tidak mudah dilakukan.
Penyebab terjadinya  alih kode dalam sosiolingistik menurut Fishman (1976:15) yaitu:”siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Sedangan menurut kepustakaan linguistic penyebab terjadinya alih kode adalah: 1) pembiaca atau penutur, 2) pendengar  atau lawan tutur, 3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ke tiga, 4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, 5) perubahan topik pembicaraan.
Seorang pembicara atau penutur sering kali melakukan alih kode untuk keuntungan  atau manfaat dari tindakannya itu. Misalnya Pak Aldo setelah beberapa saat berbicara dengan Pak Bimo mengenai  gunung Merapi dengan bahasa Jawa,  karena mereka sama-sama berasal dari suku Jawa. Tujuan dari pembicaraan itu agar saling mengerti dan lebih mudah memahami isi pembicaraan. Contohnya:
Pak Aldo :”Wah, Merapi mbedhos malih nggih,  Pak!”
                  (Wah, Merapi meletus lagi ya, pak!)
Pak Bimo:”Inggih Pak. Malah mledose langkung ageng. Kathah kerugian  bondho donya Pak!”
                    (Inggih, Pak. Meletusnya lebih dasyat, banyak korban harta benda)

Penyebab alih kode dari segi lawan bicara atau lawan tutur, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan  berbahasa si lawan tutur  itu. Dalam hal ini biasanya  biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang  karena  memang mungkin bukan bahasanya pertama. Apabila lawan tutur itu berlatar belakang sama  dengan penutur maka alih kode yang terjadi hanya berupa alih kode  yang terjadi hanya berupa peralihan varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Apabila si lawan tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si penutur , maka  yang terjadi adalah alih bahasa. Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak  berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur  dan lawan tutur  dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Status orang ketiga dalam alih kode juga menentukan bahasa atau varian yang harus digunakan.
Contoh: Pembicaraan di Kampus
Topik : Tugas Kuliah
Sebab Alih Kode : Kehadiran Ninda dari Sumatera
Dinda              : “Piye Nes, tugase Prof. Dandan wis rampung?”
Fanes               : “Wis, aku nulis nganti jam sepuluh bengi!
Ketika mereka bicara  datanglah Rotua.
Dinda              :”Kamu sudah mengerjakan tugas Prof Dandan?
Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Misalnya dari situasi formal ke ragam santai.
Contoh: Percakapan guru dikantor
Bu Ani            :”Apakah Ibu sudah membuat RPP untuk minggu ini?”
Bu Sinta          :”Oh, sudah. Ini bukunya!”
Bu Ani               :”Panjenengan panci sregep, Bu. Lha Bapak punapa sampun dhangan!”

CAMPUR KODE
Antara alih kode dan campur kode hamper sukar memang sukar dibedakan. Maka beberapa orang menganggap sama antara keduanya. Kesamaan antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa   atau lebih, atau varian dari sebuah bahsa dalam satu masyarakat tutur.  
Thelander (1976: 103) menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Alih kode menurutnya adalah suatu peristiwa  tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahsa ke klausa bahasa lain, sedangkan apabila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri-sendiri maka terjadi campur kode.
Fosald (1984) menawarkan criteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode. Apabila seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila klausa jelas-jelas memiliki struktur  gramatika satu bahasa, dan satu klausa berikutnya disusun menurut gramatika bahasa lain, maka yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika bahasa lain  maka yang terjadi adalah  alih kode. Untuk Menjelaskan keterangannya itu Fasold memberikan contoh campuran bahasa Spanyol dan bahasa Inggris yang diangkat dari Labov  (1971: 457)
-          Y cuando estoy con gonte me borrocha porque me seinto
(dan ketika saya dengan orang saya mabuk sebaba saya merasa)                           
-          Mas happy, mas free, you know,  pero is yo estoy con mucha.
Lebih bahagia, lebih bebas, tahu kan, tetapi saya dengan banyak.
-          Gente yo no estoy, you know, high, more or less
(orang saya tidak, tahu kan, tinggi, kira-kira)
-          I couldn’t get along with anybody
(saya tidak bisa bergaul dengan siapa pun)
  Berdasarkan kriteria kegramatikan, maka dari awal sampai kata pero merupakan serpihan bahasa Spanyol. Kata-kata happy, free, dan you know dipinjam dari bahasa Inggris. Lalu, pernyataan high dan more or less adalah bahasa Inggris. Klausa berikutnya sepenuhnya dalam bahasa Inggris, baik dalam kosakata maupun gramatika. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bagian awal teks di atas sampai dengan ungkapan more or less yang berupa if-clause adalah bahasa Spanyol yang bercampur  bahasa Inggris. Alih kode kedalam bahasa Inggris baru dimulai dengan kata I, meskipun di depannya ada empat buah bahasa Inggris.
           Contoh ke dua yang di kemukakan Fasold di angkat dari Velma (1976:158) yang melibatkan hubungan bahasa Hindi dan bahasa Inggris. Teksnya berupa:
            Vinod  : mai to kuhungaa ki yah one of the
       (saya akan mengatakan bahwa ini adalah salah)
               Best novels of the year is
               (Satu novel terbaik tahun ini)
Mira      : That’s right. It is decidedly one of
              (benar. Diputuskan novel itu memang
              The best novel of the year
(Novel terbaik tahun ini
Perkataan Vinod terdiri dari dua buah klausa. Yang satu berarti saya akan mengatakan dan yang kedua  berarti “ini adalah salah satu novel terbaik tahun ini. Meskipun kata-kata dalam klausa hamper semuanya bahasa Inggris, tetapi gramatikal klausa itu adalah klausa  bahasa Hindi, sebab klausa tersebut yang dimulai dengan pronominanya dan memiliki kata mai dalam posisi akhir klausa. Alih kode terjadi pada ucapan Mira. Ucapan Vinod dan Mira tersebut terjadi campur kode.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar